Selasa, 23 November 2010

HARI_HARI " IWAN FALS"

Lelaki bernama Virgiawan Listanto rumahnya di Desa Leuwinanggung, Cimanggis, Depok, yang teduh dan hijau oleh rindang pepohonan dan rerumputan. Sore itu Iwan habis latihan bersama rekan-rekan musisi, seperti Toto Tewel (gitaris), Edi Daromi (keryboards), Deni Kurniawan (drum), dan Heirie Buchaery (bas).Ia bercerita tentang PT Tiga Rambu, perusahaan yang dikelola oleh keluarga Iwan, termasuk istrinya, Rosana Listanto, yang akrab disapa dengan panggilan Yos, serta anaknya, Anissa Cikal Rambu Basae.Nama Tiga Rambu diambil dari nama tiga anak Iwan, yaitu Galang Rambu Anarki (1982-1997), Anissa Cikal Rambu Basae (25), dan Rayya Rambu Robbani (7). Tiga Rambu tengah menyiapkan Iwan dan kelompoknya untuk perjalanan keliling ke sejumlah pelosok. Ia menyiapkan sebuah mobil yang khusus dirancang untuk perjalanan kelompok musik yang mengembara dari satu kota ke kota lain, termasuk ke komunitas pesantren dan nelayan.
Inilah babakan baru kehidupan Iwan sebagai seniman. Ia bisa dengan lebih akrab mendekati pendengarnya dan menyuarakan keresahan orang-orang di sekitarnya lewat lagu langsung ke telinga rakyat.
Lingkungan
Masalah lingkungan memang bukan tema baru dalam lagu-lagu Iwan. Awal tahun 1980-an dia sudah menyanyikan ”Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi” sampai ”Tak Biru Lagi Lautku”. Dalam Keseimbangan ada empat lagu, seperti ”Hutanku”, ”Pohon untuk Kehidupan”, ”Tanam Siram Tanam”, dan ”Ayolah Mulai”.
Ini kegelisahan Anda?
Ini bermula dari kekhawatiran aku tentang alam. Orang bilang sekarang terjadi global warming, pemanasan global. Kutub utara sudah mencair, malah ada yang bilang bumi sudah tidak bundar lagi sehingga putarannya enggak bener dan cuaca tak bisa diduga. Bumi diambilin emas, tambang, dan hutannya. Populasi penduduk bertambah, perang. Waduh….
Tetapi, kan tidak terus mentok, terus khawatir. Tapi harus ada jalan keluar. Kita enggak bisa terus mengeluh. Aku percaya itu akan didengar petani, nelayan terpanggil untuk kerja. Siapa tahu dengan lagu itu ada harapan, kesadaran. Mati, itu sudah pasti, maka kita ngomong kehidupan saja.
Mengapa makin fokus ke lingkungan?
Umur juga, ya, ha-ha-ha... Dulu nyanyi tentang lingkungan buat gagah-gagahan saja. Aku (dulu) nyanyi tentang hutan dan erosi. Sekarang ini tak ada pilihan lain. Ini jawaban buat krisis lingkungan hidup.
Dan faktanya kita sudah terancam dari-mana-mana, dari atas dari bawah. Enggak ada jalan, kecuali kerja untuk kehidupan. Caranya masing-masing. Tak ada istilah terlambat.

Anda mengajak fans untuk menanam?
Kita ajak mereka nanem. Dulu ada gerakan Indonesia Menanam di Kemayoran dan aku terlibat juga. Kemarin ini, ini kita nanem di Jonggol. Kami juga menanam mangrove di Pekalongan, Cianjur, dan lainnya.
Jonggol itu tanah pribadi aku. Ada sekitar 20 hektar yang dulunya lahan kering. Pohon-pohon ditebangin karena dulu katanya mau dibuat perumahan.
Aku lihat tanah telantar aku beli. Ya sudah rezeki. Kita mau hutanin, Kami tanam 5.000 pohon. Sebelumnya kawan-kawan Oi (ormas yang mayoritas anggotanya penggemar Iwan) menanam 1.000 pohon.
Sebelumnya ada teman-teman dari Go Blue mengajak kami balik ke laut. Katanya, laut itu lumbung terakhir. Terumbu karang sudah tinggal 6,2 persen yang sehat. Sementara 60 persen orang kita tinggal di pesisir. Lha, itu kan rumah ikan. Kalau ikan enggak ada, lalu gimana?”
Seratus persen
Iwan sadar benar akan posisinya sebagai penyanyi, penulis lagu. Di satu sisi, ia tetap memegang idealismenya. Di sisi lain, ia paham kondisi industri musik Tanah Air. Saat berangkat masuk industri, ia bekompromi bahwa 70 persen untuk idealisme dan 30 persen untuk melayani kepentingan industri. Kini dengan Tiga Rambu, Iwan memang 100 persen idealisme itu. Kini Tiga Rambu-lah yang meladeni Iwan 100 persen.

”Album ini diurus anak dan istri. Yos sama Cikal. Yos jadi direktur. Sebenarnya aku komisaris he-he-he, tapi minta mundur. Aku konsen nyanyi sajalah. Ternyata mereka sudah dua tahun kerja. Aku kaget juga. Walau terengah-engah, dia semua yang ngurus. Aku ya cuma gini-gini saja. Konserku dalam
setahun dibuatin sama dia. Pakai tema pula. Kemarin tentang ASI, green peace, almarhum Munir, guru. Akhirnya aku jadi manja juga ha-ha-ha.... Kalau main, konser gitu-gitu saja males juga. Harus ada yang disampaikan. Dapet duitnya sih enak, tapi kalau cuma tepuk tangan untuk apa, males juga.”
”Sikap ini sebenarnya sudah sejak dari dulu ketika aku berangkat main musik. Niat aku sudah begitu. Kita bisa berbuat sesuatu kok lewat musik. Buktinya ada lagu ”Maju Tak Gentar”, jadi berdaya benar musik itu. Kita bisa omong tentang pohon, politik, Tuhan. Tempatku bukan di klangenan.”
”Cuma karena aku masuk industri, aku ikut arus dan menyanyi (yang 30 persen) itu. Tapi jalurku sebenarnya tetap di situ (berbuat sesuatu lewat musik). Apalah anak umur 19 tahun waktu itu. Tapi, aku cukup gelisah dan aku tak menyerah. Aku bilang sama perusahaan rekaman, ’Oke 30 persen aku ladeni kamu dan 70 persen buat aku.’ Apakah jadinya 50 persen atau berapa aku enggak tahu ha-ha-ha.... Tapi, dalam perjalanan akhirnya sekarang aku 100 persen. Itu setelah aku dipegang sama istriku.”

0 komentar:

Posting Komentar